skip to Main Content
Perempuan Dan Standar Kecantikan

Perempuan dan Standar Kecantikan

Perempuan dan kecantikan merupakan suatu kesatuan yang identik. Kecantikan sebagai sifat feminin sebenarnya telah berakar kuat dalam sistem sosial yang lebih luas dan terprogram secara budaya. Setiap hari kaum perempuan diyakinkan kan dengan mitos-mitos kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum perempuan dalam jurang pemujaan terhadap kecantikan. Meskipun kecantikan selalu dikaitkan pada perempuan, nyatanya laki – laki ikut dalam andil. Wacana kecantikan dan feminitas tidak dapat dilepaskan dari konstruksi budaya patriarki yang memberikan kuasa kepada laki-laki di satu sisi untuk memberikan pengakuan atas feminitas perempuan, dan di sisi lain perempuan untuk selalu mencari pengakuan atas feminitasnya dari laki-laki (Prabasmoro, 2003:54). Pada akhirnya diakui atau tidak, tubuh yang ditampilkan oleh perempuan merupakan keinginan yang dilihat oleh kaum laki – laki. Wacana kecantikan akan terus menerus di usahakan untuk mendefinisikan ulang tentang apa itu yang disebut keidealan kecantikan, dimana pihak yang memiliki kepentingan ini ialah produsen produk – produk kecantikan.

Tren kecantikan modern mematok pada tubuh yang tinggi semampai dan langsing, memiliki bokong dan dada yang padat berisi, berkulit putih, berhidung mancung, pipi tirus, bibir kemerahan, dan rambut hitam maupun berwarna bercahaya dan lain sebagainya. Sebagai sebuah keuntungan dan kebutuhan, produk kecantikan (skincare) merupakan ladang yang tidak ada habisnya untuk digali atau dikembangkan. Standar kecantikan digembar-gemborkan lewat media seperti, media daring atau media luring contohnya dikemas dalam iklan – iklan produk kecantikan.

Kampanye kecantikan bagi perempuan tidaklah masalah, sepanjang hal itu tidak berdampak buruk bagi perempuan. Konsep kecantikan, entah itu lahiriah atau batiniah, merupakan hal yang sah-sah saja. Namun, banyak perempuan yang melewati jalur ekstrim untuk memiliki kecantikan yang ideal, dimana banyaknya produk – produk yang memberikan harapan penyelesaian masalah kecantikan yang malah berakibat buruk bagi tubuh.

Dalam globalisasi kini, terjadi gelombang korea atau Korean Wave atau hallyu yang dimana budaya pop korea mewabah di dunia maupun di Indonesia, membuat tidak asing lagi dengan musik korea yang disebut K- Pop yang dibawakan oleh boyband atau Girlband asal Korea Selatan. Selain musik, masyarakat pun disuguhkan drama atau cerita – cerita utopis atau realitas yang diperagakan oleh artis atau bintang kenamaan Korea Selatan.

Artis–artis Korea pun diikuti oleh khalayak masyarakat dalam berpakaian, gaya rambut, hingga pola hidup yang diikuti oleh para remaja. Menjadikan pembentukan standar kecantikan oleh artis – artis Korea Selatan. Pada realita nya juga, Korea Selatan merupakan salah satu negara produsen yang memasok produk – produk kecantikan di dunia.

Perempuan dan Tubuh

 Tubuh merupakan kekuasaan yang dilebih – lebihkan bagi kaum feminis dan Foucault. Menurut Susan Bordo, feminis lah yang pertama kali yang membalikan pemakaian kata “ Politik Tubuh ” dan bukan menjelaskan arti yang sebenarnya, untuk dapat berbicara tubuh yang dapat dipolitikan, “tubuh manusia itu sendiri adalah entitas yang bertuliskan secara politis, fisiologi dan morfologinya dibentuk oleh sejarah dan praktik-praktik penahanan dan kontrol.” (Bordo 1993, hal.21).

Kaum feminis mengartikan bahwa perempuan telah ditaklukan oleh tubuh mereka, ideologi gender dan penalaran gender berasal dari perbedaan biologis yang dirasakan antara jenis kelamin yang didukung oleh paradigma hubungan antara jiwa dan raga yang telah dikarakterisasi oleh pemikiran barat dari sumber para filsuf Yunani kuno ke zaman renaissance.

Aristoteles menganggap perempuan sebagai “penderita cacat alami”, St Thomas Aquinas melihat perempuan sebagai manusia “ lelaki yang tidak sempurna ” (de Beauvoir 1988, p.16) dan manusia “lelaki yang salah arah” (Tseëlon, 1995, p.11). Gagasan laki-laki dan perempuan sebagai perbandingan didukung oleh kategori yang terpolarisasi, seperti pikiran / tubuh, budaya / alam, roh / materi yang telah disusupi dengan ideologi gender.

Stereotip seksual dalam berpakaian mempertahankan perbedaan antara jenis kelamin dengan membesar – besarkan perbedaan fisik dengan cara dibuat – buat, Menurut Elizabeth Wilson, fashion ‘terobsesi’ dengan gender, dan berfungsi untuk mengartikan dan mendefinisikan kembali batas gender (Wilson 1985 hal.117). Disiplin tubuh tidak hanya memperhatikan tubuh secara general, namun tekstur dan penampilan kulit juga menjadikan perhatian khusus. Menurut Sandra Lee Bartky seorang wanita “kulit harus lah lembut, kenyal, tidak berambut dan halus dan tidak menunjukkan tanda-tanda bekas luka, pengalaman, usia, atau pemikiran yang mendalam. ” (Bartky op. Cit., Hal.68). Untuk mendapatkannya perempuan didesak untuk mengikuti zaman kecantikan yang dimana perempuan dirancang untuk “merawat” dan merubah kulit di seluruh tubuh. Banyaknya produk kecantikan yang diaplikasikan dengan berbagai alat yang dimana harus perempuan harus menguasainya, belum lagi dengan adanya bulu mata palsu, potongan rambut dan kuku. Adapun produk dan proses khusus yang dirancang untuk menghilangkan rambut dari berbagai bagian tubuh; dari alis, bibir atas, ketiak, kaki dan ‘membersihkan’ dengan mencabut, mencukur, waxing, menggosok dan mengelektrolisis, serta untuk rambut yang masih ada di kepala, menggunakan segudang lagi perawatan dan produk lainnya.

Mengubah perempuan menjadi hiasan membutuhkan sejumlah besar aturan dan dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi perempuan. Ini memperkuat bahwa perempuan diidentikan sebagai tubuh, menegaskan bahwa perempuan sebagai hiasan utama. Style perempuan selama bertahun – tahun telah mengukuhkan mitos tentang perempuan, seperti penggoda, seksual, harus halus dan lemah atau narsis, sembrono dan terobsesi dengan hal – hal yang sepele, fashion sendiri merupakan hal yang fana, berubah, ilusi dan boros (Tseëlon op. Cit., Hal.23).

Feminisme Post- Modern

Reaksi feminis terhadap tubuh bukanlah sesuatu yang merubah mendasar, reaksi feminis dapat dianalisis pada tiga tingkatan, dan semua diarahkan pada ideologi pria. Yang pertama bersifat membebaskan, kedua adalah perayaan, dan ketiga pemikiran kritis. Pada tingkat pertama upaya untuk membebaskan tubuh dalam jeratan, pemikiran Cartesian menyatakan menurunkan pemikiran tubuh ke posisi yang lebih rendah dan sebagai objek dimensi individualitas yang vulgar, dikarenakan tubuh diidentifikasikan pada perempuan dan pikiran pada laki – laki.

 Pada tingkat kedua, posisi perayaan yang dimana merubah bentuk estetika tubuh manusia yang tidak sesuai dengan dikte ideologi pria. Disini gagasan tentang tubuh menjadi jelas terjerat dengan konstruksi sosial gender dalam berbagai bidang, seperti pekerjaan, pernikahan, keluarga, di mana tubuh digunakan sebagai senjata untuk membangun identitas perempuan yang terpisah dengan identitas laki-laki. Tingkat ketiga, yang merupakan tingkat kritis adalah upaya serius untuk mengekspos eksploitasi laki-laki terhadap tubuh perempuan dalam budaya media yang didominasi laki-laki, yang pada dasarnya memperlakukan tubuh perempuan sebagai objek seksual. Budaya pemasaran dicontohkan pada level ketiga karena beroperasi terutama pada level ini, menjadikan tubuh wanita sebagai objek seksual.

Teori feminisme yang digunakan adalah teori mitos kecantikan (beauty myth), dalam buku The Beauty Myth: How Images of Beauty are Used Against Women (1991) karya Naomi Wolf, dikatakan setelah terjadinya aksi radikal kelahiran kembali feminisme pada awal 1970- an, wanita barat telah berhasil memperoleh hak – hak hukum dan hak bereproduksi, hak belajar, dan hak bekerja. Namun terjadinya kekhawatiran perempuan dalam kaitan hal sepele seperti penampilan fisik, tubuh, wajah, rambut dan pakaian yang di rasa sangat penting. Naomi Wolf merupakan seseorang yang mengalami terjadinya gelombang ketiga feminisme, dan beraliran post modern.

Dalam periode ini disebut dengan mitos kecantikan yang dimana cantik hanyalah simbol semata dan mitos kecantikan ini merupakan penentu perilaku dan bukanlah penampilan. Terjadinya persaingan antar perempuan dalam mitos kecantikan ini dan terbaginya satu sama lain. Dan juga menurut Naomi, mitos kecantikan ini tidak didasarkan pada evolusi, jenis kelamin, estetika ataupun oleh Tuhan namun didasarkan pada adanya tentang keintiman, seks dan kehidupan sebuah perayaan, dan terdiri dari emosional, politik, keuangan dan represi seksual. Mitos kecantikan ini bukan hanya tentang perempuan namun tentang institusi laki – laki dan merupakan representasi dari kekuatan institusi tersebut, jadi menurut Wolf, mitos kecantikan bukan tentang perempuan saja.

Mitos kecantikan pun tertulis dalam cerpen – cerpen Indonesia, seperti mitos bahwasanya perempuan cantik itu menggoda, seksi dan memakai produk kecantikan yang mahal dan bermerek, tergambar dalam cerpen ”Bibir Basah Setengah Terbuka”. Menceritakan Tokoh Asih yang mengalami kecemburuan terhadap teman perempuan suaminya yang sehari – hari bekerja menjual kosmetik keliling, membuat teman – teman kerjanya selalu tampil cantik ghostwriter österreich. Dan Asih menduga suaminya tergoda pada teman – temannya yang cantik, dengan begitu Asih melakukan perawatan diri dan mengubah penampilannya dengan satu tujuan yaitu memikat laki – laki (suaminya), Asih memiliki keyakinan bahwa dengan menjaga penampilan dapat memiliki kesempatan dan keyakinan agar laki – laki tertarik. Dengan cerpen tersebut menjelaskan bahwa perempuan terbelenggu dan tidak bebas dalam berekspresi dan menjadikan perempuan merasa tertekan dan tertindas. 

Kecantikan bagaikan mata uang seperti standar emas yang dimana penilaian kecantikan perempuan dalam hierarki vertical didasari dari standar fisik dan menjadi wujud dari power relations yang mana perempuan harus bersaing secara tidak wajar ghostwriting, seperti yang disinggung tadi menurut Ashad Kusuma Djaya (2007: x) dalam Wiasti (2012: 3) mendefinisikan kecantikan sebagai sebuah kemasan yang total. Era kini terdapat acara yang menampilkan kecantikan dengan diselenggaranya kontes kecantikan seperti Miss World, Miss Universe, Miss International dan lainnya. Di Indonesia sendiri terdapat kontes seperti Puteri Indonesia dan Miss Indonesia yang mengikuti ghostwriting dari acara kecantikan dunia, ini seperti mengukuhkan perempuan diharuskan sesuai standar kecantikan. Fisik perempuan sendiri pertama kali dilihat melalui pinggul dan paha, ukuran lingkar dada, dan tinggi badan (Khulsum, 2014). Dan ditambah dengan dipoles nya wajah dengan make up dan memiliki manner, behavior, brain, smart, social, dan healthy untuk melengkapi kapasitas dengan terbentuknya konsep yang “cantik”.

Kesimpulan 

Perempuan dan kecantikan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dalam hal ini menjadikan perempuan menentukan standar kecantikannya untuk menjadi konsep “cantik”, tidak hanya itu kaum laki – laki ikut serta dalam penegasan standar kecantikan Rohrreinigung Berlin. Dikarenakan perempuan dan kecantikan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, tubuh merupakan identik yang merujuk pada perempuan, dan pikiran merupakan identik pada laki – laki. Dalam pergerakan feminis, ini telah menyalah artikan tentang kebebasan perempuan Rohrreinigung Oberhausen, dalam hal ini feminis postmodern menentangnya yang dimana feminis postmodern menganggap perempuan itu beragam, Naomi Wolf seorang yang mengalami gelombang ketiga feminis mencetuskan adanya teori mitos kecantikan yang dimana, diharuskannya kesempurnaan pada tubuh wanita seperti kulit yang putih dan halus, tubuh yang tinggi, rambut yang indah, dan lainnya.

REFERENSI

Arsitowati, Winta Hari. 2017. Kecantikan Wanita Korea Sebagai Konsep Kecantikan Ideal dalam Iklan New Pond’s White Beauty: What Our Brand Ambassadors Are Saying. Jurnal Humanika Vol. 24 No. 2 : 84 – 97 

Bartky, Sandra Lee.1990. Femininity and Domination Studies in the Phenomenology of Oppression. New York: Routledge

Bordo, Susan. 1993. Unbearable Weight: Feminism, Western Culture, and the Body. Berkeley: University of California P


Beaufeur, S. 2016. Second Sex: Kehidupan Perempuan. Narasi – Pustaka Promethea

 

Prabasmoro, AP. 2003. Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, & Globalitas dalam Iklan Sabun. Bandung: Jalasutra

Pratiwi, Rhesa Zuhriya Briyan. 2018. Perempuan dan Kontes Kecantikan (Analisis Mengenai Konstruksi Citra dalam Bingkai Komodifikasi). Jurnal An-Nida Vol. 10 No. 2 : 134 – 143

Puspa, Ratih. 2010. Isu Ras dan Warna Kulit Dalam Konstruksi Kecantikan Ideal Perempuan. Jurnal Universitas Airlangga Vol. 23 No. 4 : 312 – 323

Joy, Annamma & Venkatesh, Alladi. 1994. Postmodernism, feminism, and the body: The Visible and The Invisible in Consumer Research. International Journal of Research in Marketing Vol. 11 No. 4 : 333–357.

Khulsum, U. 2014. Perspektif Cantik Perempuan Korea dalam Film Minyeoneun Geurowo. Jurnal Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

King, Angela. 2004. The Prisoner of Gender: Foucault and the Disciplining of the Female Body. Journal of International Women’s Studies Vol.5 No. 2 : 29 – 39

Saguni, Suarni Syam & Baharman. 2016. Narasi Tentang Mitos Kecantikan dan Tubuh Perempuan dalam Sastra Indonesia Mutakhir: Studi Atas Karya – Karya Cerpenis Indonesia. Jurnal Retorika Vol. 9 No. 2 : 90 – 163

Tseëlon, Efrat. 1995 .The masque of femininity: The presentation of woman in everyday life. London: Sage Publics 

Wiasti, N. (2012). Redefinisi Kecantikan dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja Perempuan Bali Di Kota Denpasar. Jurnal Piramida. from https://ojs.unud.ac.id/index.php/ piramida/article/view/3003.

Wilson, Elizabeth. 1985. Adorned in Dreams: Fashion and Modernity. London: Virago

Wolf, Naomi. 1991. The Beauty Myth: How Images of Beauty are Used Against Women. London: Vintage Books

(author: Muhammad Fikri Asy’ari – Mahasiswa HI 2018)

Back To Top