Ambisi Irasional Putin dan Dampaknya Terhadap Perdamaian Global
Peperangan antara Ukraina dan Rusia kini telah memasuki minggu keempat. Data mencatat bahwa telah terdapat setidaknya 902 masyarakat sipil yang meninggal dunia akibat peperangan di Ukraina (UN, 2022). Menurut data UNHCR, jumlah masyarakat Ukraina yang mengungsi juga telah mencapai lebih dari 3 juta jiwa. Meski begitu, kedua belah pihak tampaknya masih belum menemukan titik terang untuk segera melakukan gencatan senjata dan mengatasi konflik ini secara damai. Seiring dengan semakin lamanya perang berlangsung, maka dikhawatirkan jatuhnya korban baik dari pasukan tentara maupun masyarakat sipil juga akan terus meningkat. Banyak pihak yang menilai, akar permasalahan dari perang antara Ukraina dan Rusia ini adalah karena ambisi Presiden Rusia Vladimir Putin yang berlebihan. Ambisi irasional Putin untuk melakukan invasi dan menduduki Ukraina timbul akibat beberapa faktor. Diantaranya adalah karena sejarah negara Ukraina yang dianggapnya sebagai satu bagian yang tidak terpisahkan dari Rusia, upaya untuk melakukan denazifikasi terhadap pemerintahan Ukraina, serta faktor terbesar yakni kekhawatirannya akan kekuatan dan pengaruh Barat yang kian meluas ke arah Timur.
Klaim Tidak Berdasar Putin
Melalui artikelnya yang diterbitkan di situs resmi pemerintahan Rusia pada Juli 2021 lalu, Putin menyampaikan beberapa pandangan pribadinya terkait hubungan Ukraina dan Rusia. Ia menyebutkan bahwa—terlepas dari latar belakang politik kontemporer—sejatinya bangsa Ukraina dan Rusia adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Baginya, bangsa Rusia, Ukraina, dan Belarusia saling terikat karena berasal dari satu negara yang sama, yakni negara federasi Rus Kiev, sebuah negara yang eksis pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-12 silam. Sehingga dengan ini, Putin berani mengatakan bahwa sejarah bangsa Ukraina tidak bisa dipisahkan dari Rusia. Meski begitu, tidak sepenuhnya pandangan Putin terhadap Ukraina ini benar adanya. Walaupun berasal dari negara federasi Rus Kiev, namun sejarah ini tidak memiliki garis berkelanjutan yang dapat dilacak hingga pada pembentukan negara Ukraina di masa modern (Knispel, 2022). Sehingga apa yang terjadi pada masa abad pertengahan lalu, tidak memiliki korelasi yang signifikan terhadap sejarah negara Ukraina di masa kini. Terlebih lagi sejak pertengahan abad ke-19, bangsa Ukraina juga memiliki bahasa dan identitas sendiri yang kuat, sehingga klaim Putin bahwa sejarah Ukraina tidak dapat dipisahkan dengan Rusia tampaknya tidak begitu valid.
Selanjutnya, upaya Putin untuk melakukan ‘denazifikasi’ terhadap pemerintahan Ukraina juga dinilai tidak berdasar. Putin menggunakan klaim sepihaknya ini sebagai bagian dari propaganda guna menjustifikasi dan memberikan dalih untuk melakukan invasi ke Ukraina. Memang pada masa Perang Dunia II, pasukan paramiliter Ukrainian Insurgent Army—yang berbasis di wilayah Barat Ukraina—sempat berafiliasi dengan pasukan Nazi Jerman (Vorobyov, 2022). Pada masa itu, Uni Soviet tergabung ke dalam aliansi Sekutu untuk membasmi pasukan Nazi, dan banyak masyarakat Soviet—baik Yahudi maupun non-Yahudi—yang menjadi korban kekejaman Nazi (Waxman, 2022). Meski begitu, afiliasi pasukan paramiliter UIA kepada pasukan Nazi Jerman terjadi pada 80 tahun yang lalu, dan hal tersebut tidak mencerminkan pemerintahan Ukraina dibawah kepemimpinan Presiden Volodymyr Zelensky sekarang. Bahkan, Zelensky sendiri merupakan seorang Yahudi yang juga kehilangan anggota keluarganya pada tragedi kemanusiaan Holocaust yang dilakukan oleh pasukan Nazi. Zelensky juga terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum, sehingga klaim Putin mengenai adanya paham fasisme Nazi di pemerintahan Ukraina sekarang dapat dipastikan tidaklah benar. Putin menggunakan narasi ini hanya sebatas untuk mendapatkan justifikasi dari masyarakat Rusia—yang mempunyai sentimen negatif terhadap Nazi—untuk melakukan invasi ke Ukraina.
Kekhawatiran selanjutnya yang diduga menjadi faktor terbesar Putin dalam melakukan invasi ke Ukraina adalah karena pengaruh Barat yang semakin meluas ke arah Timur, salah satunya akibat wacana bergabungnya Ukraina ke NATO. Ukraina di bawah kepemimpinan Zelensky semakin mengedepankan nilai-nilai demokrasi yang membuatnya menjadi lebih condong ke Barat. Dengan otoritarianisme Putin yang menanti di sebelah Timur, tentu Ukraina berharap mendapat perlindungan Barat salah satunya melalui keinginannya untuk bergabung dengan NATO. Barat juga mengklaim bergabungnya Ukraina ke NATO adalah sebagai tanda bahwa demokrasi, pemerintahan yang baik, dan perdamaian akan semakin meluas di daratan Eropa. Namun, Putin tetap menganggap ini sebagai suatu ancaman dan meminta Barat untuk menghentikan ekspansi NATO ke arah Timur. Putin yang merasa terancam pun melakukan berbagai cara untuk menunjukkan kuasanya dan memperingati Barat. Mulai dari menempatkan pasukan secara besar-besaran, sampai dengan mengakui kemerdekaan wilayah yang ingin memisahkan diri di Ukraina Timur dilakukan olehnya sebagai dalih untuk menduduki Ukraina. Alih-alih melakukan respons dengan melakukan pertemuan ataupun diskusi, Putin justru menggunakan pendekatan militeristik—yang berujung pada invasi—dalam merespons situasi ini.
Dampaknya Terhadap Perdamaian Global
Padahal, pasca Perang Dingin berakhir—yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet—sistem internasional telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Dengan menguatnya hegemoni AS, sistem internasional telah berubah menjadi unipolar, dimana AS berperan penting menjadi aktor tunggal di dalam konstelasi global. Seiring dengan dominasi AS, proses liberalisasi dan demokratisasi turut meluas ke berbagai penjuru dunia. Ditambah dengan terjadinya proses globalisasi yang masif, dunia dengan cepat berubah menjadi saling terkoneksi. Akibatnya, kerja sama dan kooperasi kian ditingkatkan sebagai salah satu upaya untuk menjauhi peperangan. Selain itu, isu-isu non-tradisional yang dulu termarginalisasi—seperti kesehatan, ekonomi, perubahan iklim, kemiskinan, dan lainnya—menjadi semakin relevan dalam hubungan internasional pasca terjadinya Perang Dingin (Othman dkk., 2013). Dengan begitu, pendekatan militeristik Putin sangat bertentangan dengan kondisi aktual di masa kontemporer. Meskipun pasca Perang Dingin perang tidak benar-benar hilang dan bukan yang pertama kali terjadi—bahkan Barat, terutama AS pun pernah melakukan perang—, aksi Putin ini dinilai cukup berdampak bagi masa depan dunia.
Putin telah menunjukkan bahwa aksinya di Ukraina berdampak mahal, terutama dalam sektor ekonomi, mengingat serangkaian sanksi yang dilayangkan oleh negara-negara Barat dan sekutunya. Namun, bukan berarti Putin menyerah akibat ancaman tersebut. Justru, Putin mengatakan bahwa Rusia akan segera bangkit lebih kuat dan sanksi tersebut akan berbalik menyerang Barat. Dilansir dari Reuters, Putin mengatakan, “Pada akhirnya, ini semua akan mengarah pada peningkatan kemandirian dan kedaulatan kita (Rusia),”. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa respons Barat terhadap invasi Rusia tidaklah begitu berarti. Dan bukan tidak mungkin, Rusia akan mencari mitra dagang alternatif—terutama yang tidak bersahabat dengan Barat—seperti Tiongkok, untuk mengembalikan perekonomiannya yang hancur. Hal ini juga ditegaskan oleh Tiongkok dengan mengatakan bahwa mereka akan “terus memiliki kerjasama perdagangan yang normal” dengan Rusia. Dengan adanya kekuatan alternatif baru selain Barat, dan bukti ketahanan Rusia menghadapi serangkaian sanksi Barat, dikhawatirkan aksi militeristik serupa akan menginspirasi pemimpin-pemimpin berambisi tinggi lainnya, yang tentu berbahaya bagi perdamaian global.
Terlebih, otoritarianisme dan nasionalisme juga tengah mengalami kebangkitan di dunia. Negara-negara seperti Brazil, India, Turki, Tiongkok, Rusia, Belarus, dan lainnya tengah dipimpin oleh pemimpin otoriter. Salah satu negara yang dikhawatirkan akan terinspirasi oleh aksi Rusia di Ukraina adalah Tiongkok. Presiden otoriter Tiongkok, Xi Jinping juga dinilai memiliki ambisi yang tinggi untuk melakukan reunifikasi dengan Taiwan. Terbukti tepat satu hari setelah Rusia melakukan invasi ke Ukraina, atau pada 25 Februari lalu, sembilan pesawat tempur Tiongkok terlihat melintas di atas zona pertahanan udara Taiwan (CNBC, 2022). Meskipun aksi provokatif ini bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh Tiongkok, bukan tidak mungkin invasi skala penuh dapat dilakukan oleh Tiongkok di kemudian hari. Akibat sanksi oleh Barat yang kurang signifikan dalam menghentikan pergerakan pasukan Rusia, Tiongkok dinilai dapat mempertimbangkan momentum ini untuk mencuri kesempatan. Ambisi berbahaya pemimpin-pemimpin otoriter di dunia ini juga dapat menimbulkan manuver-manuver tidak terduga yang berujung pada pergerakan yang semakin menjauhkan upaya perdamaian.
Demokrasi juga menjadi semakin terancam dan mengalami kemunduran seiring dengan bangkitnya otoritarianisme di berbagai belahan dunia. Hal ini dapat dibuktikan melalui nilai indeks demokrasi yang semula bernilai 5.37 pada tahun 2020, dan turun menjadi 5.28 pada tahun 2021 (EIU, 2022). Dengan melemahnya peran demokrasi dan liberalisasi, bukan tidak mungkin dunia kembali ke masa penuh perang dan konflik, dimana penggunaan paradigma realisme dalam politik internasional kembali menjadi relevan. Salah satu bukti dari tren kemunduran liberalisme adalah kurang berpengaruhnya peran organisasi dan hukum internasional. Hal ini dapat dilihat dari aksi Rusia yang melanggar hukum internasional, yakni Piagam PBB Ayat 2(4) yang berisikan larangan atas “penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara manapun” (Bellinger, 2022). Meskipun Rusia bukan satu-satunya negara yang pernah melanggar hukum internasional, namun hal ini semakin menunjukkan bahwa upaya meningkatkan perdamaian global melalui organisasi dan hukum internasional tidak sepenuhnya berhasil. Meski begitu, upaya menuju perdamaian global tetap harus didorong dan diutamakan, sebab tidak ada satu nyawa manusia pun yang lebih berharga dibanding kepentingan politik semata. Sebagai bagian dari masyarakat global, kita harus mampu mengedepankan pergerakan menuju perdamaian dan menentang segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak manapun. Ini bukanlah saatnya untuk mengedepankan kepentingan pribadi, sebab perdamaian dan kesejahteraan global tentu menjadi cita-cita mulia kita bersama.
Referensi
Democracy Index 2021: less than half the world lives in a democracy. (2022, February 10). Retrieved from EIU: https://www.independent.co.uk/news/world/europe/why-russia-ukraine-nato-putin-block-b2034455.html
Kirby, P. (2022, March 17). What does Putin want and will Russia end its war? Retrieved from BBC News: https://www.bbc.com/news/world-europe-56720589
Knispel, S. (2022, March 3). Fact-checking Putin’s claims that Ukraine and Russia are ‘one people’. Retrieved from University Rochester: https://www.rochester.edu/newscenter/ukraine-history-fact-checking-putin-513812/
Maxar, R. C. (2022, February Monday). Ukraine seeks meeting with Russia within 48 hours to discuss build up. Retrieved from BBC News: https://www.bbc.com/news/world-europe-60370541
Othman, Z., & Mahamud, A. H. (2013). Non-Traditional Security Issues and the Stability of Southeast Asia, Hal. 150-164.
Ripp, A. (2022, March 5). Ukraine’s Nazi problem is real, even if Putin’s ‘denazification’ claim isn’t. Retrieved from Think: https://www.nbcnews.com/think/opinion/ukraine-has-nazi-problem-vladimir-putin-s-denazification-claim-war-ncna1290946
Russia, K. (2021, July 12). Article by Vladimir Putin “On the historical Unity of Russians and Ukrainians”. Retrieved from President of Russia : http://en.kremlin.ru/events/president/news/66181
Sommerlad, J. (2022, march). Why does Russia want to block Ukraine from joining Nato? Retrieved from Independent: https://www.independent.co.uk/news/world/europe/why-russia-ukraine-nato-putin-block-b2034455.html
Vorobyov, N. (2022, February 25). Putin says Russia, Ukraine share historical ‘unity’. Is he right? Retrieved from Aljazeera: https://www.aljazeera.com/news/2022/2/25/history-of-ties-between-ukraine-and-russia
Waxman, O. B. (2022, March 3). Historians on What Putin Gets Wrong About ‘Denazification’ in Ukraine. Retrieved from Time: https://time.com/6154493/denazification-putin-ukraine-history-context/
(author: Kajian Departemen Politik Hukum dan Kaderisasi)