skip to Main Content

RUU TNI, layaknya drama usang, yang mencari panggung baru dengan skrip lama

Oleh Departemen Politik, Hukum, dan Kaderisasi

Latar Belakang

Setelah gagal disahkan pada periode sebelumnya, DPR 2024-2029 kembali memasukkan revisi UU TNI dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Tepat pada 20 Maret 2025, RUU TNI akhirnya disahkan oleh Ketua DPR RI, dengan persetujuan seluruh fraksi dalam Sidang Paripurna ke-15. Sebenarnya apa itu RUU TNI yang telah disahkan? Apa urgensi dari pencanangan RUU TNI ini? Mmeperkuat pertahanan negara atau hanya demi kepentingan suatu kelompok belaka? Mari kita bahas!

Revisi RUU TNI bertujuan untuk menyesuaikan peran dan kewenangan TNI dalam sistem pemerintahan Indonesia. Beberapa perubahan utama yang diusulkan dalam revisi ini meliputi:

1. Keterlibatan Prajurit Aktif dalam Jabatan Sipil

Pasal 47 mengizinkan prajurit aktif menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga, seperti Kemenko Polhukam, BIN, Mahkamah Agung, dan lembaga lainnya sesuai kebijakan Presiden. Hal ini menuai kritik karena berpotensi menghidupkan kembali peran dwifungsi militer.

2. Perpanjangan Usia Pensiun

Pasal 53 mengubah batas usia pensiun perwira dari 58 tahun menjadi 60 tahun. Bintara dan tamtama juga mengalami kenaikan usia pensiun dari 53 tahun menjadi 58 tahun, sementara jabatan fungsional bisa diperpanjang hingga 65 tahun.

3. Kontroversi dan Pengawasan

Beberapa pihak khawatir perubahan ini memperkuat dominasi militer dalam pemerintahan. Namun, DPR mengklaim bahwa revisi ini tetap membatasi kewenangan TNI dan akan disertai mekanisme pengawasan yang ketat 

RUU TNI diusulkan oleh pemerintah, dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai perwakilan yang mengirimkan surat resmi kepada DPR RI. Proses pembahasan dimulai pada 18 Februari 2025, di bawah pimpinan Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, yang membentuk panitia kerja untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil. Setelah melalui serangkaian diskusi dan rapat dengar pendapat umum, RUU ini akhirnya disetujui dalam rapat paripurna DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR, Puan Maharani, pada 20 Maret 2025. Pengesahan ini mencerminkan kesepakatan antara pemerintah dan DPR, serta menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses legislasi, meskipun terdapat kontroversi dan penolakan dari beberapa elemen masyarakat terkait potensi kembalinya dwifungsi militer.

Wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pertama kali muncul pada periode DPR 2019-2024, dengan salah satu poin utama adalah perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif. Namun, pembahasannya kerap tersendat akibat polemik di masyarakat, terutama kekhawatiran akan kebangkitan kembali dwifungsi militer seperti pada era Orde Baru.

Setelah gagal disahkan pada periode sebelumnya, DPR 2024-2029 kembali memasukkan revisi UU TNI dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Pembahasan dimulai dengan rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada Maret 2025, diikuti rapat dengan unsur pemerintah pada 13 Maret 2025.

Namun, revisi ini mendapat penolakan luas dari berbagai elemen masyarakat sipil yang menganggapnya sebagai ancaman bagi supremasi sipil dalam demokrasi. Di tengah kritik tersebut, DPR dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan, bahkan menggelar rapat tertutup dalam format konsinyering di Hotel Fairmont, Jakarta.

DPR RI kemudian resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dalam rapat paripurna yang digelar di Gedung Nusantara II, Jakarta, pada 20 Maret 2025. Keputusan ini menandai babak baru dalam regulasi peran dan kewenangan TNI, di tengah perdebatan yang masih berlangsung di ruang publik.

Kondisi Saat Ini

  • Rakyat Menolak RUU TNI

Gelombang penolakan terhadap Revisi UU TNI semakin kuat dengan ditandainya kritik yang dituai melalui berbagai elemen masyarakat sipil, aktivis, akademisi, legislator, hingga NGO. Mereka menilai bahwa Revisi UU TNI ini berpotensi mengembalikan peran ganda militer dalam kehidupan sipil yang mirip dengan konsep “Dwifungsi ABRI” pada masa Orde Baru silam yang tentunya mengancam sistem demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.  Di sisi lain, Revisi UU TNI juga menuai kritik terkait aturan yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan aktif di Kementerian dan Lembaga Negara. Tidak hanya itu saja, usulan perpanjangan batas usia pensiun bagi prajurit aktif juga menimbulkan konflik dan perselisihan pandangan.

Penolakan terhadap Revisi UU TNI ini berhasil diwujudkan melalui aksi protes demonstrasi, banyak pihak yang menyuarakan kekhawatirannya mengenai keberadaan militer dalam jabatan sipil dapat menimbulkan ketegangan sosial, konflik kepentingan, serta mengarah pada militerisasi di kehidupan sehari-hari. 

Meskipun ada gelombang penolakan dari masyarakat sipil, DPR RI tetap mengesahkan UU TNI menjadi Undang-Undang. Dari delapan fraksi di DPR, tidak ada satu pun yang menolak pengesahan tersebut, meskipun masing-masing fraksi memberikan catatan bahwa banyak penolakan yang dilakukan sama sekali tidak sesuai dengan ranah substansi yang sedang dilakukan oleh Komisi I DPR bersama Pemerintah.

  • Mengapa Rakyat Menolak RUU TNI

Secara substansi, kalangan masyarakat sipil dan akademisi menilai revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI, yakni mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara, sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi. Sementara secara proses, pembahasan Revisi UU TNI dinilai kurang melibatkan masyarakat sipil, kampus, dan seluruh elemen masyarakat serta terkesan terburu-buru, elitis, dan sangat eksklusif. 

Menurut Pengajar Hukum Tata Negara Indonesia Bivitri Susanti, Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan TNI yang terdiri dari AU, AL, dan AD sebagai alat negara, bukan lembaga negara. Artinya, TNI yang diposisikan sebagai alat oleh negara memang diberi akses khusus terhadap senjata dan alat yang namanya kekerasan dan punya legitimasi untuk melakukan kekerasan dan juga mengakses senjata. Untuk itu, dalam merevisi rancangan UU TNI harus melihat urgensi dan kebutuhan TNI, jika sekarang ingin mengubah UU TNI harus dilakukan untuk profesionalisme tentara, terutama dalam konteks peradilan militer.

  • Pasal Berapa Saja yang Dikecam oleh Rakyat

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) membawa sejumlah perubahan signifikan yang memperluas peran dan kewenangan institusi militer dalam berbagai aspek. Dari penambahan tugas dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), perubahan aturan mengenai jabatan sipil bagi prajurit aktif, hingga perpanjangan usia dinas, revisi ini diharapkan dapat memperkuat peran strategis TNI dalam menghadapi tantangan nasional dan global.

  1. Penambahan Kewenangan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah penambahan dua tugas pokok dalam OMSP. Yang cukup kontroversial yakni TNI kini diberikan kewenangan untuk membantu menanggulangi ancaman siber, sejalan dengan meningkatnya risiko serangan digital yang dapat mengganggu stabilitas nasional. 

Penambahan kewenangan TNI dalam OMSP dikecam karen dinilai jika keterlibatan TNI dalam ancaman siber bisa disalahgunakan untuk membatasi kebebasan. Selain itu, kurangnya mekanisme pengawasan terhadap militer meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

  1. Perubahan Kedudukan dan Jabatan Sipil

Revisi UU TNI juga membawa perubahan pada Pasal 47 terkait keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil. Jumlah lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif bertambah dari 10 menjadi 14 institusi. Namun, penempatan prajurit hanya dapat dilakukan atas permintaan kementerian atau lembaga terkait serta harus mengikuti ketentuan administrasi yang berlaku.

Berikut adalah daftar kementerian dan lembaga yang dapat ditempati oleh prajurit TNI aktif:

1. Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan

2. Kementerian Pertahanan, termasuk Dewan Pertahanan Nasional

3. Kesekretariatan Negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden

4. Badan Intelijen Negara

5. Badan Siber dan/atau Sandi Negara

6. Lembaga Ketahanan Nasional

7. Badan Search and Rescue (SAR) Nasional

8. Badan Narkotika Nasional

9. Mahkamah Agung

10. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)

11. Badan Penanggulangan Bencana

12. Badan Penanggulangan Terorisme

13. Badan Keamanan Laut

14. Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer)

Penambahan jumlah lembaga ini mencerminkan meningkatnya kebutuhan akan keterlibatan militer dalam berbagai sektor strategis yang menyangkut keamanan nasional.

Perubahan ini memicu perdebatan di berbagai kalangan. Para pendukung revisi berargumen bahwa keterlibatan TNI dalam lembaga-lembaga sipil strategis diperlukan untuk memperkuat keamanan nasional serta respons terhadap berbagai ancaman. Namun, pihak yang menentang mengkhawatirkan adanya tumpang tindih peran antara militer dan sipil, yang dapat mengaburkan prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi.

  1. Perpanjangan Usia Dinas Prajurit

Perubahan lain yang cukup signifikan dalam revisi UU TNI adalah perpanjangan usia pensiun bagi prajurit. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan lebih lama bagi prajurit dalam menjalankan tugasnya serta memperkuat struktur organisasi TNI. Dengan perpanjangan masa dinas, diharapkan pengalaman dan keahlian para prajurit senior dapat terus dimanfaatkan dalam mendukung tugas-tugas strategis militer.

Menurut isi Revisi RUU TNI 2025, TNI dapat menduduki jabatan pada 16 sektor institusi. Sebelumnya, personel TNI aktif hanya bisa menduduki 10 sektor. Perluasan keterlibatan TNI pada sektor sipil ini membuat banyak orang khawatir akan kembalinya dwifungsi ABRI. Peneliti Senior Imparsial Al Araf, menilai bahwa revisi ini berpotensi menghidupkan Kembali konsep dwifungsi ABRI seperti pada era pemerintahan orde baru. Beliau mengingatkan bahwa tugas utama TNI seharusnya tetap pada sektor pertahanan, bukan melebar ke sektor sipil yang dapat mengaburkan pembatas antara peran militer dan pemerintahan. Sebaliknya, menurut mantan Menkopolhukam Mahfud MD revisi RUU TNI ini masih sejalan dengan prinsip reformasi dan tidak berpotensi untuk menghidupkan Kembali dwifungsi ABRI. Beliau juga menegaskan bahwa isu RUU TNI dapat mengembalikan dwifungsi ABRI tidak terbukti, karena pada orde baru tiga elemen yang dapat memutuskan Keputusan-keputusan politik penting hanya bisa ditentukan oleh ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Sedangkan, sekarang kondisi tersebut sudah berubah dan tidak memungkinkan untuk menghidupkan lagi dwifungsi ABRI, karena telah dibatasi oleh landasan hukum yaitu TAP MPR Nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2000.

Kesimpulan dan Pernyataan Sikap

Peran TNI sebagai unsur pertahanan negara harusnya tetap pada sektor pertahanan, bukan malah melebar ke sektor sipil seperti pada isi Revisi RUU TNI. Hal ini menandakan bahwa TNI masuk kedalam model subjective civilian control yang dapat merusak profesionalitas TNI sebagai aparat negara. Landasan hukum juga tidak bisa menjadi jaminan bahwa dwifungsi ABRI tidak akan lahir Kembali. Terbukti dari bagaimana proses pengesahan RUU yang dilaksanakan secara tertutup dan sepihak, membuat dwifungsi ABRI bisa saja lahir kembali di masa depan.  

Kami, perwakilan masyarakat, yang tidak didengar suaranya oleh pihak berwenang yang sengaja menutup telinga akan keresahan ini, mempertanyakan sikap pemerintah yang seolah menyelewengkan nilai-nilai demokrasi dan  pancasila yang menjadi dasar negara kita, INDONESIA. Apabila di masa yang akan datang suara kami tetap tidak didengar, patut diingat bahwa kedaulatan tertinggi masih berada di tangan rakyat.

Referensi:

Carina, Jessi. “Ruu TNI Disahkan, Menhan: Tak Ada Permintaan Presiden, Ini Kesepakatan Pemerintah Dan DPR.” KOMPAS.Com, Kompas.com, 20 Mar. 2025, nasional.kompas.com/read/2025/03/20/11440171/ruu-tni-disahkan-menhan-tak-ada-permintaan-presiden-ini-kesepakatan. 

DA, Ady Thea. “DPR Akhirnya Setujui Ruu Tni Jadi UU, Ini 3 Substansi Yang Diatur!” Hukumonline.Com, 20 Mar. 2025, www.hukumonline.com/berita/a/dpr-akhirnya-setujui-ruu-tni-jadi-uu–ini-3-substansi-yang-diatur-lt67dbbddd68c6f/. 

Mufarida, Binti. 2025. “Mahfud MD: RUU TNI Tidak Kembalikan Dwifungsi ABRI, Justru Lebih Proporsional”. Okezone.news, https://nasional.okezone.com/read/2025/03/19/337/3123805/mahfud-md-ruu-tni-tidak-kembalikan-dwifungsi-abri-justru-lebih-proporsional.

Pamungkas, Bintang. “Isi Ruu TNI Terbaru Dan Pasal Yang Menjadi Kontroversi.” Tirto.Id, 6 June 2024, tirto.id/isi-ruu-tni-terbaru-dan-pasal-yang-menjadi-kontroversi-gZlr. 

Rank, Max. 2025. “isi dan implikasi revisi RUU TNI 2025”. INFOHUKUM, https://fahum.umsu.ac.id/info/isi-dan-implikasi-revisi-ruu-tni-2025/.

“Tok! DPR Ri Sahkan Ruu Tni Jadi Undang-Undang.” Detik News, 20 Mar. 2025, news.detik.com/berita/d-7832329/tok-dpr-ri-sahkan-ruu-tni-jadi-undang-undang. Latar Belakang

Setelah gagal disahkan pada periode sebelumnya, DPR 2024-2029 kembali memasukkan revisi UU TNI dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Tepat pada 20 Maret 2025, RUU TNI akhirnya disahkan oleh Ketua DPR RI, dengan persetujuan seluruh fraksi dalam Sidang Paripurna ke-15. Sebenarnya apa itu RUU TNI yang telah disahkan? Apa urgensi dari pencanangan RUU TNI ini? Mmeperkuat pertahanan negara atau hanya demi kepentingan suatu kelompok belaka? Mari kita bahas!

Revisi RUU TNI bertujuan untuk menyesuaikan peran dan kewenangan TNI dalam sistem pemerintahan Indonesia. Beberapa perubahan utama yang diusulkan dalam revisi ini meliputi:

1. Keterlibatan Prajurit Aktif dalam Jabatan Sipil

Pasal 47 mengizinkan prajurit aktif menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga, seperti Kemenko Polhukam, BIN, Mahkamah Agung, dan lembaga lainnya sesuai kebijakan Presiden. Hal ini menuai kritik karena berpotensi menghidupkan kembali peran dwifungsi militer.

2. Perpanjangan Usia Pensiun

Pasal 53 mengubah batas usia pensiun perwira dari 58 tahun menjadi 60 tahun. Bintara dan tamtama juga mengalami kenaikan usia pensiun dari 53 tahun menjadi 58 tahun, sementara jabatan fungsional bisa diperpanjang hingga 65 tahun.

3. Kontroversi dan Pengawasan

Beberapa pihak khawatir perubahan ini memperkuat dominasi militer dalam pemerintahan. Namun, DPR mengklaim bahwa revisi ini tetap membatasi kewenangan TNI dan akan disertai mekanisme pengawasan yang ketat 

RUU TNI diusulkan oleh pemerintah, dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai perwakilan yang mengirimkan surat resmi kepada DPR RI. Proses pembahasan dimulai pada 18 Februari 2025, di bawah pimpinan Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, yang membentuk panitia kerja untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil. Setelah melalui serangkaian diskusi dan rapat dengar pendapat umum, RUU ini akhirnya disetujui dalam rapat paripurna DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR, Puan Maharani, pada 20 Maret 2025. Pengesahan ini mencerminkan kesepakatan antara pemerintah dan DPR, serta menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses legislasi, meskipun terdapat kontroversi dan penolakan dari beberapa elemen masyarakat terkait potensi kembalinya dwifungsi militer.

Wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pertama kali muncul pada periode DPR 2019-2024, dengan salah satu poin utama adalah perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif. Namun, pembahasannya kerap tersendat akibat polemik di masyarakat, terutama kekhawatiran akan kebangkitan kembali dwifungsi militer seperti pada era Orde Baru.

Setelah gagal disahkan pada periode sebelumnya, DPR 2024-2029 kembali memasukkan revisi UU TNI dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Pembahasan dimulai dengan rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada Maret 2025, diikuti rapat dengan unsur pemerintah pada 13 Maret 2025.

Namun, revisi ini mendapat penolakan luas dari berbagai elemen masyarakat sipil yang menganggapnya sebagai ancaman bagi supremasi sipil dalam demokrasi. Di tengah kritik tersebut, DPR dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan, bahkan menggelar rapat tertutup dalam format konsinyering di Hotel Fairmont, Jakarta.

DPR RI kemudian resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dalam rapat paripurna yang digelar di Gedung Nusantara II, Jakarta, pada 20 Maret 2025. Keputusan ini menandai babak baru dalam regulasi peran dan kewenangan TNI, di tengah perdebatan yang masih berlangsung di ruang publik.

Kondisi Saat Ini

  • Rakyat Menolak RUU TNI

Gelombang penolakan terhadap Revisi UU TNI semakin kuat dengan ditandainya kritik yang dituai melalui berbagai elemen masyarakat sipil, aktivis, akademisi, legislator, hingga NGO. Mereka menilai bahwa Revisi UU TNI ini berpotensi mengembalikan peran ganda militer dalam kehidupan sipil yang mirip dengan konsep “Dwifungsi ABRI” pada masa Orde Baru silam yang tentunya mengancam sistem demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.  Di sisi lain, Revisi UU TNI juga menuai kritik terkait aturan yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan aktif di Kementerian dan Lembaga Negara. Tidak hanya itu saja, usulan perpanjangan batas usia pensiun bagi prajurit aktif juga menimbulkan konflik dan perselisihan pandangan.

Penolakan terhadap Revisi UU TNI ini berhasil diwujudkan melalui aksi protes demonstrasi, banyak pihak yang menyuarakan kekhawatirannya mengenai keberadaan militer dalam jabatan sipil dapat menimbulkan ketegangan sosial, konflik kepentingan, serta mengarah pada militerisasi di kehidupan sehari-hari. 

Meskipun ada gelombang penolakan dari masyarakat sipil, DPR RI tetap mengesahkan UU TNI menjadi Undang-Undang. Dari delapan fraksi di DPR, tidak ada satu pun yang menolak pengesahan tersebut, meskipun masing-masing fraksi memberikan catatan bahwa banyak penolakan yang dilakukan sama sekali tidak sesuai dengan ranah substansi yang sedang dilakukan oleh Komisi I DPR bersama Pemerintah.

  • Mengapa Rakyat Menolak RUU TNI

Secara substansi, kalangan masyarakat sipil dan akademisi menilai revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI, yakni mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara, sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi. Sementara secara proses, pembahasan Revisi UU TNI dinilai kurang melibatkan masyarakat sipil, kampus, dan seluruh elemen masyarakat serta terkesan terburu-buru, elitis, dan sangat eksklusif. 

Menurut Pengajar Hukum Tata Negara Indonesia Bivitri Susanti, Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan TNI yang terdiri dari AU, AL, dan AD sebagai alat negara, bukan lembaga negara. Artinya, TNI yang diposisikan sebagai alat oleh negara memang diberi akses khusus terhadap senjata dan alat yang namanya kekerasan dan punya legitimasi untuk melakukan kekerasan dan juga mengakses senjata. Untuk itu, dalam merevisi rancangan UU TNI harus melihat urgensi dan kebutuhan TNI, jika sekarang ingin mengubah UU TNI harus dilakukan untuk profesionalisme tentara, terutama dalam konteks peradilan militer.

  • Pasal Berapa Saja yang Dikecam oleh Rakyat

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) membawa sejumlah perubahan signifikan yang memperluas peran dan kewenangan institusi militer dalam berbagai aspek. Dari penambahan tugas dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), perubahan aturan mengenai jabatan sipil bagi prajurit aktif, hingga perpanjangan usia dinas, revisi ini diharapkan dapat memperkuat peran strategis TNI dalam menghadapi tantangan nasional dan global.

  1. Penambahan Kewenangan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah penambahan dua tugas pokok dalam OMSP. Yang cukup kontroversial yakni TNI kini diberikan kewenangan untuk membantu menanggulangi ancaman siber, sejalan dengan meningkatnya risiko serangan digital yang dapat mengganggu stabilitas nasional. 

Penambahan kewenangan TNI dalam OMSP dikecam karen dinilai jika keterlibatan TNI dalam ancaman siber bisa disalahgunakan untuk membatasi kebebasan. Selain itu, kurangnya mekanisme pengawasan terhadap militer meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

  1. Perubahan Kedudukan dan Jabatan Sipil

Revisi UU TNI juga membawa perubahan pada Pasal 47 terkait keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan sipil. Jumlah lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif bertambah dari 10 menjadi 14 institusi. Namun, penempatan prajurit hanya dapat dilakukan atas permintaan kementerian atau lembaga terkait serta harus mengikuti ketentuan administrasi yang berlaku.

Berikut adalah daftar kementerian dan lembaga yang dapat ditempati oleh prajurit TNI aktif:

1. Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan

2. Kementerian Pertahanan, termasuk Dewan Pertahanan Nasional

3. Kesekretariatan Negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden

4. Badan Intelijen Negara

5. Badan Siber dan/atau Sandi Negara

6. Lembaga Ketahanan Nasional

7. Badan Search and Rescue (SAR) Nasional

8. Badan Narkotika Nasional

9. Mahkamah Agung

10. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)

11. Badan Penanggulangan Bencana

12. Badan Penanggulangan Terorisme

13. Badan Keamanan Laut

14. Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer)

Penambahan jumlah lembaga ini mencerminkan meningkatnya kebutuhan akan keterlibatan militer dalam berbagai sektor strategis yang menyangkut keamanan nasional.

Perubahan ini memicu perdebatan di berbagai kalangan. Para pendukung revisi berargumen bahwa keterlibatan TNI dalam lembaga-lembaga sipil strategis diperlukan untuk memperkuat keamanan nasional serta respons terhadap berbagai ancaman. Namun, pihak yang menentang mengkhawatirkan adanya tumpang tindih peran antara militer dan sipil, yang dapat mengaburkan prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi.

  1. Perpanjangan Usia Dinas Prajurit

Perubahan lain yang cukup signifikan dalam revisi UU TNI adalah perpanjangan usia pensiun bagi prajurit. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan lebih lama bagi prajurit dalam menjalankan tugasnya serta memperkuat struktur organisasi TNI. Dengan perpanjangan masa dinas, diharapkan pengalaman dan keahlian para prajurit senior dapat terus dimanfaatkan dalam mendukung tugas-tugas strategis militer.

Menurut isi Revisi RUU TNI 2025, TNI dapat menduduki jabatan pada 16 sektor institusi. Sebelumnya, personel TNI aktif hanya bisa menduduki 10 sektor. Perluasan keterlibatan TNI pada sektor sipil ini membuat banyak orang khawatir akan kembalinya dwifungsi ABRI. Peneliti Senior Imparsial Al Araf, menilai bahwa revisi ini berpotensi menghidupkan Kembali konsep dwifungsi ABRI seperti pada era pemerintahan orde baru. Beliau mengingatkan bahwa tugas utama TNI seharusnya tetap pada sektor pertahanan, bukan melebar ke sektor sipil yang dapat mengaburkan pembatas antara peran militer dan pemerintahan. Sebaliknya, menurut mantan Menkopolhukam Mahfud MD revisi RUU TNI ini masih sejalan dengan prinsip reformasi dan tidak berpotensi untuk menghidupkan Kembali dwifungsi ABRI. Beliau juga menegaskan bahwa isu RUU TNI dapat mengembalikan dwifungsi ABRI tidak terbukti, karena pada orde baru tiga elemen yang dapat memutuskan Keputusan-keputusan politik penting hanya bisa ditentukan oleh ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Sedangkan, sekarang kondisi tersebut sudah berubah dan tidak memungkinkan untuk menghidupkan lagi dwifungsi ABRI, karena telah dibatasi oleh landasan hukum yaitu TAP MPR Nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2000.

Kesimpulan dan Pernyataan Sikap

Peran TNI sebagai unsur pertahanan negara harusnya tetap pada sektor pertahanan, bukan malah melebar ke sektor sipil seperti pada isi Revisi RUU TNI. Hal ini menandakan bahwa TNI masuk kedalam model subjective civilian control yang dapat merusak profesionalitas TNI sebagai aparat negara. Landasan hukum juga tidak bisa menjadi jaminan bahwa dwifungsi ABRI tidak akan lahir Kembali. Terbukti dari bagaimana proses pengesahan RUU yang dilaksanakan secara tertutup dan sepihak, membuat dwifungsi ABRI bisa saja lahir kembali di masa depan.  

Kami, perwakilan masyarakat, yang tidak didengar suaranya oleh pihak berwenang yang sengaja menutup telinga akan keresahan ini, mempertanyakan sikap pemerintah yang seolah menyelewengkan nilai-nilai demokrasi dan  pancasila yang menjadi dasar negara kita, INDONESIA. Apabila di masa yang akan datang suara kami tetap tidak didengar, patut diingat bahwa kedaulatan tertinggi masih berada di tangan rakyat.

Referensi:

Carina, Jessi. “Ruu TNI Disahkan, Menhan: Tak Ada Permintaan Presiden, Ini Kesepakatan Pemerintah Dan DPR.” KOMPAS.Com, Kompas.com, 20 Mar. 2025, nasional.kompas.com/read/2025/03/20/11440171/ruu-tni-disahkan-menhan-tak-ada-permintaan-presiden-ini-kesepakatan. 

DA, Ady Thea. “DPR Akhirnya Setujui Ruu Tni Jadi UU, Ini 3 Substansi Yang Diatur!” Hukumonline.Com, 20 Mar. 2025, www.hukumonline.com/berita/a/dpr-akhirnya-setujui-ruu-tni-jadi-uu–ini-3-substansi-yang-diatur-lt67dbbddd68c6f/. 

Mufarida, Binti. 2025. “Mahfud MD: RUU TNI Tidak Kembalikan Dwifungsi ABRI, Justru Lebih Proporsional”. Okezone.news, https://nasional.okezone.com/read/2025/03/19/337/3123805/mahfud-md-ruu-tni-tidak-kembalikan-dwifungsi-abri-justru-lebih-proporsional.

Pamungkas, Bintang. “Isi Ruu TNI Terbaru Dan Pasal Yang Menjadi Kontroversi.” Tirto.Id, 6 June 2024, tirto.id/isi-ruu-tni-terbaru-dan-pasal-yang-menjadi-kontroversi-gZlr. 

Rank, Max. 2025. “isi dan implikasi revisi RUU TNI 2025”. INFOHUKUM, https://fahum.umsu.ac.id/info/isi-dan-implikasi-revisi-ruu-tni-2025/.

“Tok! DPR Ri Sahkan Ruu Tni Jadi Undang-Undang.” Detik News, 20 Mar. 2025, news.detik.com/berita/d-7832329/tok-dpr-ri-sahkan-ruu-tni-jadi-undang-undang. 

Back To Top