skip to Main Content
Eksistensi Badan Intelijen Negara Dalam Masyarakat Indonesia

Eksistensi Badan Intelijen Negara dalam Masyarakat Indonesia

Sebelum kita mengenal Badan Intelijen Negara atau BIN, terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi dari intelijen. Secara istilah, intelijen berasal dari kata Intelegensia yang berarti kecerdasan, sehingga dalam kegiatannya intelijen membutuhkan kecerdasan dan keahlian dalam mengumpulkan informasi. Prinsip yang selalu menjadi fundamental bagi komunitas intelijen adalah felox et exactus, yaitu benar, jujur tepat dan cepat, sehingga kesatuan intelijen harus mampu menunjukan keefektifannya dalam mengumpulkan informasi tertentu untuk kepentingan nasional atau swasta, karena dunia intelijen tidak hanya berbicara tentang intelijen untuk kepentingan negara tetapi juga sudah memasuki ke ranah swasta seperti perusahaan dan lainnya demi memperoleh informasi dengan baik dan tepat. Menurut Letnan Jenderal James Dawliet, menjelaskan bahwa operasi intelijen memiliki beberapa proses, seperti memperoleh informasi dan menghimpunnya, menyusun dan menjelaskan informasi, kemudian menggunakannya.

Jika kita membahas mengenai aktivitas intelijen khususnya di Indonesia, maka kita tidak bisa terlepas dari sejarah berdirinya kesatuan intelijen di Indonesia dimana pembentukan kesatuan tersebut dimulai sejak 1943. Zulkifli Lubis, mantan perwira PETA, bersama teman-temanya mengikuti pendidikan akademi intelijen yang berada di bawah markas besar intelijen Jepang setelah kemerdekaan. Tepatnya pada bulan September 1945, terbentuklah Badan Istimewa yang merupakan organisasi intelijen pertama di Indonesia. Kemudian terjadi pergantian nama organisasi dari BI menuju BIN (2003) melalui delapan kali pergantian. Dengan proses yang sangat panjang tersebut membentuk prinsip serta kultur dari lembaga intelijen negara. BIN pun pada saat ini dituntut mampu mengelola informasi rahasia untuk dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan demi kepentingan nasional.[1]

Badan Intelijen Negara dan Dunia Internasional

Aktivitas intelijen internasional memiliki perkembangan yang pesat dengan berbagai teknologinya melalui signal intelligence yang selalu menjadi perbincangan hangat berbagai spektrum internasional akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, perkembangan teknologi menciptakan dunia Cyber yang rentan terhadap upaya-upaya penyadapan untuk memperoleh informasi yang menguntungkan.

Badan Intelijen Negara (BIN) memiliki tugas yang sentral dalam mengelola informasi bagi pemerintah demi kepentingan nasional, yang tentunya bukan untuk kepentingan kelompok tertentu secara ego struktural. Kepentingan nasional haruslah menjadi prioritas utama. Di sinilah penentuan fungsi dan efektifitas BIN dalam mengolah serta mendapatkan informasi demi negara. Tentu kemampuan badan intelijen lain seperti MSS (China), DGI (Kuba), NSA (USA), ISI (Pakistan) dan masih banyak lagi, memiliki sumber daya sigint yang mumpuni. Singapura sebagai negara yang berada di dalam kawasan yang sama dengan Indonesia juga memiliki kemampuan sigint yang sangat baik. Hal-hal seperti inilah yang bisa sewaktu-waktu mengancam kedaulatan negara melalui spionase dan penyadapan yang merugikan Indonesia dan BIN harus segera memerankan fungsinya sebagai garda terdepan. 

Maka dari itu Indonesia dengan lembaga intelijennya memiliki tugas besar dalam mempertahankan status politiknya baik di ranah domestik hingga global. Kemudian Sun Tzu berkata, bahwa apabila ingin memenangkan peperangan diperlukan kemampuan untuk mengenal diri sendiri, mengenal lawan, dan mengenal lingkungan. Sehingga  dengan adanya instrumen intelijen, hal-hal itu akan dapat dicapai dengan baik. Melalui lembaga intelijen seperti BIN, Indonesia akan mampu mempertahankan stabilitas politik domestik dan globalnya. Jika penyelidikan, pengamanan serta penggalangan sebagai teori dasar intelijen diterapkan dengan baik oleh BIN melalui dukungan dari fasilitas dan sumber daya yang disediakan negara, maka peluang Indonesia dalam mempertahankan stabilitas nasionalnya akan berjalan dengan baik.[2]

Hak Privasi Masyarakat

Kegiatan intervensi terhadap privasi, dalam bentuk surveillance, intersepsi komunikasi dan gangguan terhadap data pribadi, memang salah satu persoalan besar yang mengemuka dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Media sosial dan internet merupakan diskursus utama dalam permasalahan ini. Frank la Rues sebagai pelapor khusus PBB untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, telah memberikan perhatian khusus terhadap soal ini. Ia menegaskan bahwa perlu adanya kejelasan peraturan hukum yang melindungi serta menggambarkan hak dan privasi yang dilindungi di keadaan serta kondisi tertentu.

Karena pemerintah atau negarawan bertanggung jawab bagi kesejahteraan serta keamanan warga negaranya, keamanan nasional adalah nilai dasar yang wajib mereka lindungi.[3] Akan tetapi hal-hal seperti hak dasar bagi masyarakatnya tidak bisa dikesampingkan sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan. Dengan kehadiran Badan Intelijen Negara harus mampu melindungi hak privasi masyarakatnya sebagai salah satu hak dasar yang melekat pada aspek eksistensial manusia.[4] 

Di dalam hukum Indonesia, telah ditetapkan mengenai hak dan privasi yang telah diakui sebagai hak konstitusional bagi warga negara, sebagaimana dijelaskan UUD 1945. Ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia”. Negara harus mampu berperan membangun stigma masyarakat dalam menilai operasi intelijen dan membentuk kesadaran kolektif bahwa intelijen memiliki peran penting dalam menciptakan stabilitas nasional.

Sangat penting membentuk kepercayaan di masyarakat bahwa badan intelijen memiliki peran besar dalam menangani kasus-kasus penting untuk hasil yang lebih baik kedepannya. Tetapi di satu sisi, masyarakat juga khawatir jika sewaktu-waktu badan intelijen keluar dari batas wewenangnya. Mereka takut terhadap wewenang intelijen yang bisa digunakan untuk penyadapan bisa melanggar hak-hak privasi yang mereka miliki einleitung bachelorarbeit. Namun masyarakat juga harus menyadari dan percaya bahwa wewenang dan otoritas intelijen telah diatur sedemikian rupa untuk kepentingan nasional dan tidak melibatkan masyarakat yang tidak memiliki keterlibatan yang berkaitan dengan operasi intelijen. Sehingga cara pandang masyarakat terhadap intelijen harus dicermati karena selama cara pandang itu salah maka akan selalu muncul kegagalan intelijen, menurut pakar pertahanan dan keamanan dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto. Ia juga mengatakan  kegagalan intelijen dibagi menjadi tiga, yaitu  kegagalan pada organisasi , kegagalan pada manusianya rohrreinigung berlin, dan kegagalan informasi intelijen. Selain itu, menurut masyarakat sendiri, kondisi Indonesia saat ini yang relatif normal menyebabkan Indonesia tidak memerlukan intelijen atau memberikan wewenang khusus.[5]

Perlu dipahami bahwa badan intelijen harus membuktikan mereka dapat dipercaya dengan tidak melakukan berbagai macam aktivitas yang melanggar batas-batas wewenang yang sudah diberikan. Maka dari itu untuk memperjelas wilayah otoritas intelijen perlu adanya kejelasan hukum terhadap kegiatan operasional mengenai kerjasama intelijen dan target operasi. Dimana isu terakhir ini yang menjadi perdebatan dalam prosesnya  aiuto tesi. Meski Indonesia memiliki UU 17 tahun 2011 tentang intelijen negara, wewenang dan ruang lingkup intelijen harus dikawal dan dicermati oleh pemerintah agar wewenang tidak disalahgunakan atau melenceng dari otoritas yang sebenarnya.

Demi menciptakan stabilitas nasional yang baik dan mempertahankan kedaulatan nasional, penting bagi Badan Intelijen Negara untuk memahami wewenang dan beroperasi sesuai dengan hukum yang sudah ditetapkan rohrreinigung wien. Maka dari itu, negara diharapkan mampu mengkomunikasikan hal itu dengan baik pada masyarakat untuk meredakan stigma negatif terhadap badan intelijen. Adapun hal-hal yang terjadi atas kesalahan operasional lembaga intelijen tidak dapat disalahkan sepenuhnya abflussreinigung Wien. Selalu ada upaya-upaya reformasi di badan intelijen sendiri untuk menciptakan keefektifan operasional yang tidak merugikan masyarakat dan mengurangi ego sektoral di dalam tubuh Badan Intelijen Negara itu sendiri maupun lintas sektornya.

REFERENSI

[1] Y.W Saronto, Perspektif Dunia intelijen, Teori intelijen dan pembangunan Jaringan, VIII ed., Yogyakarta: Penerbit Andi, 2018, hal. 7-16 .

[2] Y.W Saronto, Teori dan Aplikasi Kegiatan intelijen, RPI, TDI, Teori intelijen dan pembangunan Jaringan, VIII ed., Yogyakarta: Penerbit Andi, 2018, hal. 29 .

[3] R. Jackson dan G. Sorensen, Masyarakat Internasional,Pengantar Studi Hubungan Internasional, 5th ed., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016, hal. 256 . (Penerjemah Dadan Suryadipura dan Pancasari Suyatiman).

[4]   P. M. Marzuki, Hak , Pengantar Ilmu Hukum, Rev ed., Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, hal.176 .

[5] Antara. (2012, Sept.28) Masyarakat Indonesia Belum Percaya intelijen [online].Available: https://investor.id/archive/masyarakat-indonesia-belum- percaya-intelijen.

REFERENSI GAMBAR

news.detik.com

(author: Muhammad Rakha Seno – Mahasiswa HI 2018)

Back To Top