skip to Main Content
Euforia EURO 2020, (tidak) Lepas Dari Politik

Euforia EURO 2020, (tidak) Lepas dari Politik

Kejuaraan EURO 2020 baru saja usai 11 Juli 2021 lalu, setelah sempat tertunda setahun akibat pandemi COVID-19. Total 24 negara telah bersaing menjadi yang terbaik, sebelum akhirnya timnas Italia keluar sebagai pemenang atas trofi Henri Delaunay. Namun kejuaraan sepak bola Benua Biru bukan berlangsung tanpa isu sama sekali. Dilansir dari berbagai sumber, sejumlah peristiwa sarat politik menjadi sorotan dalam pelaksanaan EURO 2020 ini, di antaranya yaitu.

Aksi “Berlutut” oleh Para Pemain

source: www.theguardian.com

Sejumlah pemain tim melakukan aksi berlutut sebelum pertandingan dimulai untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap gerakan Black Lives Matter serta menentang rasisme dan ketidakadilan sosial. Simbol ini mulai digunakan secara luas pasca meninggalnya George Floyd di Amerika Serikat tahun lalu, dan pertama kali dipopulerkan oleh mantan gelandang NFL, Colin Kaepernick. Namun atas aksi ini, pemain Inggris dan Italia, misalnya, mendapat sorakan tidak menyenangkan dari penonton saat pertandingan. Ada beberapa alasan mengapa tidak semua penggemar mendukung aksi ini, salah satunya opini bahwa politik seharusnya tidak dilibatkan ke dalam olahraga. Reaksi juga hadir dari kalangan politisi konservatif, seperti anggota parlemen Lee Anderson dan Brendan Clarke-Smith yang mengkritik dan berkata akan memboikot pertandingan Inggris di masa depan jika para pemain terus mempertahankan aksi tersebut. Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orbán, juga menganggap aksi berlutut ini sebagai provokasi yang tidak seharusnya hadir di lapangan.

Peta Krimea di Jersey Timnas Ukraina

source: www.dailymail.co.uk

Seragam resmi tim nasional sepak bola Ukraina mencantumkan peta negara Ukraina, yang di dalamnya termasuk wilayah Krimea dan slogan “Glory to Ukraine!” serta “Glory to the heroes!”. Federasi sepak bola Rusia yang tidak terima pun mengirimkan protes kepada pihak UEFA (Union of European Football Associations), dengan menyatakan bahwa motif politik semacam itu merupakan pelanggaran regulasi UEFA. Hal ini mengingat Krimea adalah wilayah semenanjung yang telah dianeksasi Rusia secara sepihak pada tahun 2014 lalu, sementara “Glory to the heroes!” adalah slogan nasionalis populer yang dihidupkan kembali selama pergolakan politik di tahun 2014, dimana Moskow juga mengaitkannya dengan kelompok nasionalis Ukraina yang memiliki hubungan dengan Nazi selama Perang Dunia II. 

Untuk merespon protes ini, UEFA menolak tuntutan atas gambar Krimea karena beranggapan bahwa sebagian besar komunitas internasional masih mengakui teritori tersebut sebagai bagian dari Ukraina. Namun UEFA juga meminta pihak Ukraina menghapus slogan yang dipermasalahkan, mengingat slogan yang bermakna historis dan militeristik bertentangan dengan pedoman UEFA.

Barisan Protes Pro-LGBT Terhadap Hungaria

Pada 15 Juni, parlemen Hungaria mengesahkan undang-undang anti-LGBTQ yang membuat UEFA melarang dibawanya warna pelangi ke Allianz Arena, stadion sepak bola di Munich, saat pertandingan sepak bola antara Jerman dan Hungaria pada 23 Juni. Namun Jerman dan 13 negara Uni Eropa lain menentang hukum baru tersebut, yang membuat Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orbán, membatalkan kunjungannya ke pertandingan. 

Undang-undang baru Hungaria disebut bertentangan dengan Piagam Hak Asasi Manusia Uni Eropa, Konvensi PBB tentang Hak Anak, yurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dan tujuan strategi Komisi Uni Eropa tentang kesetaraan LGBT-Q. UEFA juga dikritik atas sikapnya yang tidak mengizinkan Munich menggunakan warna pelangi di stadion sebagai wujud protes terhadap hukum anti-LGBTQ tersebut sekaligus menyampaikan solidaritas untuk kaum LGBTQ di Hungaria. 

Namun UEFA menyatakan diri sebagai “organisasi yang netral secara politik dan agama”, sehingga mengingat konteks politik di Hungaria, kebijakan tersebut tetap dilaksanakan. Protes pun hadir dari banyak pemain, penonton, dan politisi yang tetap memakai warna pelangi. Bahkan seorang penggemar mengibarkan bendera pelangi saat menyerbu lapangan pada pertandingan Jerman melawan Hungaria. 

Di sisi lain, UEFA juga menyelidiki aksi para anggota Carpathian Brigade sayap kanan berbaju hitam yang hadir secara mencolok di pertandingan Hungaria melawan Portugal pada 15 Juni—di hari yang sama saat undang-undang anti-LGBTQ disahkan, yang kemudian meneriakkan cercaan homofobia serta menerbangkan spanduk anti-LGBTQ di dalam stadion. Carpathian Brigade sendiri adalah kelompok penggemar tim nasional Hungaria yang bertanggung jawab atas bendera, poster, sorakan, dan suasana umum di pertandingan yang melibatkan timnas Hungaria. Meskipun anggota Carpathian Brigade tidak memiliki latar belakang politik tertentu, terdapat banyak pengikut sayap kanan di antara mereka.

Gazprom: Sponsor yang Merubah Makna Sepak Bola

Meski UEFA mencoba menciptakan lingkungan yang bebas politik demi keuntungan turnamen, pilihan sponsor yang diambilnya justru mencerminkan sebaliknya.

Masyarakat Eropa barangkali sudah tidak asing dengan logo Gazprom yang dicetak di banyak jersey tim sepak bola. Gazprom sendiri adalah perusahaan gas alam yang dimiliki Rusia. Logo sponsor adalah hal yang normal dalam sepak bola, dimana para tim memperoleh dana dengan menawarkan ruang di seragam mereka untuk sponsor. Namun berbeda dengan kebanyakan sponsor yang bertujuan mempromosikan produk kartu kredit, mobil, hingga ponsel untuk penggemar sepak bola, Gazprom menjual gas alam pada negara luar. Kebersediaan Gazprom menguras dana jutaan hanya untuk mensponsori pertandingan sepak bola ini nyatanya memiliki motif yang merubah cita-cita UEFA tentang lingkungan sepak bola yang bebas politik.

Negara asing menggunakan perusahaan yang mereka miliki untuk memoles reputasi di luar negeri, tak terkecuali Rusia dengan Gazprom-nya yang menguasai sebagian besar cadangan gas alam terbesar di dunia. Negara-negara Eropa Barat jauh lebih bergantung pada gas Rusia ketimbang negara-negara Eropa Timur, salah satu faktornya adalah kebijakan negara-negara Eropa Barat untuk mengganti sumber energi dari batu bara dan nuklir menjadi gas alam. Ini membuka jalan bagi Gazprom memperluas jaringan gasnya ke Eropa Barat—sekaligus memperkuat pengaruh negara Rusia. Gazprom semakin meningkatkan aksesnya ke Eropa melalui pembangunan saluran pipa gas Nord Stream dan Nord Stream 2. Di saat yang sama, Gazprom juga memperluas kemitraannya dengan tim-tim sepak bola seperti FC Schalke 04, Zenit St. Petersburg, Red Star Belgrade, Chelsea FC, Champions League, hingga FIFA World Cup. Segala sponsorship ini membuat logo Gazprom tidak hanya familiar bagi penggemar di Eropa, namun seluruh dunia. 

Menjadi sponsorship utama dalam sepak bola akan memenangkan dukungan dan persetujuan di ranah publik, yang akhirnya menawarkan solusi atas publisitas negara Rusia yang buruk di Eropa. Peluang tersebut terpampang jelas: dana sponsor akan membantu tim sepak bola memenangkan turnamen-turnamen besar, sekaligus di sisi lain memperkuat upaya sponsor dalam menanamkan pengaruh asingnya. Buktinya nyata—bahkan UEFA akhirnya berlutut pada politik dalam lingkungan sepakbolanya demi dana sponsor.

EURO 2020: Kanvas Ketegangan Politik Benua Biru

Pada akhirnya, sepak bola adalah aliansi potensial bagi setiap ideologi. Di Eropa, olahraga tanpa disadari selalu bersifat politik. Sepak bola misalnya, memiliki sejarah perjuangan integrasi Eropa yang tak kalah menarik dibandingkan upaya yang dilakukan para pemimpin negara. Adalah UEFA atau Uni Sepak Bola Eropa yang didirikan pada tahun 1954 sebagai upaya para politisi Eropa untuk membuat potensi perang semakin kecil, dimana UEFA juga diharapkan mendorong upaya persatuan ekonomi Eropa untuk membendung persaingan antar negara.

Sempat ada kekhawatiran bahwa kejuaraan semacam ini dapat beresiko mengibarkan ambisi kebangsaan, mengingat ambisi kuat semacam itu pernah meninggalkan sejarah kelam peperangan di Eropa yang mengorbankan jutaan jiwa. Dan ambisi nasional tersebut memang dikibarkan, namun dengan cara yang jauh lebih tidak berbahaya. Bahkan sepak bola sebagai produk dari integrasi Eropa menjadi salah satu keunggulan global benua tersebut. Mendominasi bidang sepak bola, liga-liga top teratas yang membawa kesuksesan di tingkat internasional seluruhnya berasal dari Eropa, dimana tim-tim Eropa telah memenangkan 5 dari 6 Piala Dunia terakhir.

Namun kesuksesan bidang sepak bola Eropa yang tidak pernah terlepas dari kontroversi politik tentu tetap memerlukan tingkat kewaspadaan. Ketegangan politik selalu tampak di permukaan, terutama di antara negara-negara tertentu seperti Rusia dan Ukraina. Selain sejumlah peristiwa di atas, masih ada beberapa kejadian lainnya yang disorot dalam EURO 2020; misalnya teriakan rasis Marko Arnautovic, striker Austria keturunan Serbia, saat pertandingan melawan Makedonia Utara yang merupakan rumah bagi populasi besar etnis-Albania; unjuk rasa oleh Greenpeace dengan menerbangkan parasut bertuliskan “Kick Out Oil” ke Allianz Arena sebelum laga antara Jerman melawan Prancis dimulai; hingga absennya Recep Tayyip Erdoğan dari pertandingan pembuka EURO 2020 antara Turki dan Italia karena memanasnya hubungan kedua negara menyusul kampanye protes di Italia atas keluarnya Ankara dari Konvensi Istanbul serta komentar Perdana Menteri Italia, Mario Draghi, yang menyebut Erdogan sebagai “diktator” pada bulan April lalu.

Mulai dari desain seragam, protes warna pelangi, aksi berlutut para pemain, hingga keterlibatan politik negara. Di samping menjadi keunggulan tingkat global, EURO 2020 juga seolah menunjukkan wajah asli dari Eropa modern, yaitu Benua Biru yang berpotensi terpecah dan terbagi-bagi ke dalam kubu penuh dendam terhadap satu sama lain, dimana nilai-nilai bersama yang dianutnya mulai terasa lebih samar dibandingkan sebelumnya.

REFERENSI

Ford, M. (2021). Euro 2020: Proposal to illuminate Munich arena in LGBTQ colors for visit of Hungary. Diakses dari https://www.dw.com/en/euro-2020-proposal-to-illuminate-munich-arena-in-lgbtq-colors-for-visit-of-hungary/a-57966739

Politico. (2021). 7 ways Euro 2020 could turn political. Diakses dari https://www.politico.eu/article/7-ways-euro-2020-could-turn-political/

Schneider, M. (2020). Why this Russian gas company sponsors soccer teams. Diakses dari https://www.vox.com/videos/2020/1/31/21117233/gazprom-russia-soccer-sponsor

Tharoor, I. (2021). A political guide to the European soccer championships. Diakses dari https://www.washingtonpost.com/world/2021/06/11/europe-soccer-championships-politics/

The Economist. (2021). Euro 2020: politics by other means. Diakses dari https://www.economist.com/europe/2021/07/01/euro-2020-politics-by-other-means

(author: Yolanda Tasya Amalia – Departemen Media dan publikasi)

Back To Top