PERNYATAAN SIKAP KOMAHI UAI TERHADAP ISU KRITIK BEM UI KEPADA PRESIDEN JOKO WIDODO
A. Kritikan BEM UI terhadap Presiden Joko Widodo
Pada tanggal 26 Juni 2021, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengunggah infografis melalui media sosial Instagram dan Twitter yang berisikan kritikan terhadap Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo. Dalam unggahannya, BEM UI menjuluki Pak Joko Widodo sebagai “The King of Lip Service”. Unggahan ini menuai polemik di masyarakat, dari yang mendukung hingga yang mengkritisi tindakan ini. Salah satu instansi yang mengkritisi aksi ini merupakan Rektorat UI sendiri hingga jajaran BEM UI dipanggil untuk dirapatkan bersama Rektorat serta petinggi UI yang lainnya. Banyak yang menilai tindakan yang dilakukan oleh Rektorat dan petinggi-petinggi UI merupakan suatu bentuk pembungkaman suara mahasiswa dalam mengkritik pemerintah.
B. Sikap KOMAHI UAI atas Kritikan BEM UI
Setuju terhadap aksi BEM UI yang mengkritik Presiden Joko Widodo secara online melalui media sosial
Aksi kritikan yang dilakukan oleh BEM UI di media sosial adalah sebuah tindakan yang tidak melanggar apapun dalam prinsip negara Demokrasi. Namun sangat di sayangkan atas adanya pihak yang menentang dan tidak membenarkan tindakan dari BEM UI tersebut. Tindakan dari BEM UI ini juga tidak melecehkan atau menghina simbol negara, Adapun simbol negara seperti bendera, pancasila, dan lambang pancasila tidak di hina dalam kritikan ini.
Atas kritikan yang dilayangkan oleh BEM UI kepada Presiden Joko Widodo tersebut, KOMAHI FISIP UAI akan mendukung aksi kritikan yang dilakukan secara tertulis di media sosial tersebut. Dasar dari dukungan ini tidak lain adalah adanya hukum legal yang mengizinkan adanya kritikan di muka umum baik secara lisan maupun tertulis.
Hukum yang di yang dimaksud pada paragraf di atas adalah Undang-Undang No.9 tahun 1998, yang mengatur mengenai kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Secara spesifik hal ini ada di UU No.9 tahun 1998 pada BAB I pasal 2, BAB II pasal 5, dan BAB IV pasal 9 yang berbunyi:
1. BAB I pasal 2: Ketentuan Umum
“Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
2. BAB III pasal 5: Hak dan Kewajiban
“Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:
a. mengeluarkan pikiran secara bebas;
b. memperoleh perlindungan hukum.”
3. BAB IV pasal 9: Bentuk Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Pendapat di Muka Umum
1. “Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:
a. unjuk rasa atau demonstrasi;
b. pawai;
c. rapat umum; dan atau
d. mimbar bebas.
2. Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali:
a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah. instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional;
b. pada hari besar nasional.
3. Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.”
Atas dasar hukum yang telah disebutkan di atas kami menimbang dan memutuskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh BEM UI adalah tindakan yang masih di dalam ranah hukum dan melakukan haknya sebagai warga negara yaitu menyempaikan pendapat di muka umum. Kritikan yang di layangkan oleh BEM UI selain menggunakan hak nya sebagai warga negara juga dapat menjadi bahan evaluasi dan perbaikan oleh negara Indonesia kedepannya.
Dengan adanya pertimbangan hukum yang sah maka dengan tegas KOMAHI FISIP UAI mempertimbangkan bahwa tindakan dari BEM UI tidak melanggar aturan apapun yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setuju dan tidak ada yang salah atas kritikan BEM UI terhadap Presiden Joko Widodo
Kritikan merupakan sebuah ungkapan ketidaksetujuan mengenai suatu hal yang dilengkapi oleh alasan yang bersifat memberikan pendapat yang membangun. Tugas mahasiswa sebagai agent of change adalah mampu melakukan evaluasi serta kritik terhadap kebijakan yang dibangun oleh pemerintah. Kritikan yang disuarakan oleh BEM UI terhadap Presiden Jokowi tidak menyalahi aturan, terlebih Indonesia merupakan negara demokratis yang di mana masyarakat memiliki kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi. Kami menilai hal tersebut adalah ungkapan kekecewaan mahasiswa terhadap janji-janji Presiden Jokowi selama menjabat yang tidak sesuai dengan realita.
Menurut kami, aspirasi yang disuarakan melalui gambar meme yang di-posting dalam media sosial bersifat objektif dan substansial serta tidak menyalahi aturan dan bukan merupakan sebuah penghinaan. Dalam hal ini, kritikan dinilai penting dan bertujuan sebagai feedback untuk memperbaiki kebijakan yang perlu diubah oleh pemerintah.
Menanggapi pernyataan Jokowi terkait “rindu di demo”
Dalam lampiran BEM UI mengenai sejumlah pemberitaan media tentang daftar berita yang menurut merek “bualan” diantaranya adalah Jokowi mengaku bahwa dirinya rindu didemo
“saya kangen sebetulnya didemo. Karena apa? Pemerintah perlu dikontrol. Pemerintah itu perlu ada yang peringatin kalau keliru. Jadi kalau engga ada demo itu keliru. Jadi sekarang saya sering ngomong dimana mana ‘tolong saya didemo’. Pasti saya suruh masuk”
Namun faktanya ketika di demo tak juga muncul ketika ada aksi demonstrasi di istana negara, pada saat omnibus law disahkan justru terjadi kekerasan aparat dan penangkapan terhadap sejumlah aktivis dan mahasiswa yang ikut demo, tak ada pendemo yang diajak masuk oleh Jokowi ke istana Negara. Bahkan pada May Day 2021 digelar pun berakhir dengan kekerasan, pembatasan dan penangkapan ratusan orang serta penghalang akses bantuan hukum. tercatat 1.500 menerima aduan kekerasan aparat selama demo tolak UU Cipta Kerja.
C. Sikap KOMAHI UAI atas Tanggapan Rektorat UI terhadap Kritikan BEM UI
Sikap Rektorat UI yang tidak melambangkan Veritas, Probitas, Iustitia
Veritas (Kejujuran), Probitas (Kebenaran), dan Iustitia (Keadilan) adalah tiga kata agung yang dijadikan motto oleh Universitas Indonesia. Ketiga motto tersebut seharusnya menjadi dasar atas sikap dan tindakan yang diambil oleh Rektorat UI terkait dengan kritikan yang dilontarkan oleh BEM UI. Sangat disayangkan, langkah yang diambil justru berbanding terbalik dengan makna dari motto tersebut. Suara mahasiswa yang meminta pertanggungjawaban atas pernyataan-pernyataan Presiden Joko Widodo demi kepentingan rakyat bersama seakan disalahartikan oleh Rektorat UI dengan mengeluarkan surat pemanggilan. Padahal, apa yang disampaikan oleh BEM UI berdasarkan dengan realita dan keluhan-keluhan mahasiswa maupun masyarakat yang terjadi di Indonesia saat ini.
Banyak pihak mengecam tindakan yang dilakukan oleh Rektorat UI dan menilainya sebagai upaya pembungkaman dan sikap anti-kritik. Jika suara kejujuran, kebenaran, dan keadilan dari dalam kampus dibungkam demi kepentingan suatu kelompok, lantas dimana sebenarnya ketiga nilai tersebut ditanamkan?
Menyalahkan tanggapan Rektorat UI terkait penggunaan foto Jokowi
Unggahan yang dibuat oleh BEM UI di media sosial menuai kritikan dan tanggapan dari berbagai pihak. Terlebih poster yang digunakan dalam unggahan tersebut ialah foto Presiden Joko Widodo yang mengenakan mahkota dan diberi teks Jokowi: The King of Lip Service, menjadi perhatian tersendiri bagi pihak kampus yaitu Rektorat UI. Rektorat UI mengkritik bahwasannya poster tersebut melanggar beberapa aturan karena meme bergambar Presiden Republik Indonesia yang merupakan simbol negara. Dikarenakan poster tersebut beberapa anggota pihak kampus memutuskan untuk melakukan pemanggilan BEM UI, dan dari hasil pemanggilan tersebut BEM UI diminta untuk men-take down poster yang bergambarkan Presiden Joko Widodo. Kritikan Rektorat UI tersebut tidaklah sama dengan fakta yang ada, simbol negara Indonesia sudah tertera jelas dalam Konstitusi, yakni UUD 1945 menjelaskan hal ini. Pada pasal 35 sampai 36A disebutkan lambang negara adalah garuda dan semboyan yang tertera pada garuda itu.
Berikut ini bunyi UUD 1945 Pasal 36A: Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dalam Pasal 36A tersebut sudah sangat jelas bahwa simbol atau lambang dari Bangsa Indonesia. Tidak ada kalimat dari pasal tersebut yang menyatakan bahwa presiden adalah simbol negara. Oleh karena itu poster tersebut seharusnya tidak melanggar aturan seperti yang dikatakan oleh pihak Rektorat UI, dan poster tersebut hanya sebagai bentuk aspirasi mahasiswa dikala pandemi Covid-19 ini. Seharusnya sebagai pihak kampus mendukung aspirasi yang dilakukan oleh mahasiswa, pihak kampus tidak boleh menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan berpendapat untuk mahasiswa.
Sikap rektorat UI yang tidak mendukung Freedom of Speech
BEM UI mengeluarkan stempel “King of Lip Service”, yang juga dikenal sebagai Raja Pembual, kepada Presiden Joko Widodo melalui media sosial. Unggahan tersebut akhirnya membuat pihak BEM UI undang untuk menghadap Rektorat UI. Pihak UI juga mengatakan bahwa salah satu alasan UI memutuskan untuk memanggil pihak BEM UI adalah karena cuitan yang dibuat oleh Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rahman, yang mengatakan bahwa BEM UI adalah tanggung jawab pimpinan Universitas Indonesia. Rektorat UI meminta untuk menghapus unggahan tersebut. Namun, Leon Alvinda selaku ketua BEM UI dan yang lainnya menolak permintaan tersebut karena mereka yakin memiliki alasan untuk mencap Jokowi sebagai raja membual, BEM UI merasa jika menghapus konten tersebut maka akan mengingkari integritas dan komitmen mereka. Mendengar penolakan tersebut, Rektorat UI mengatakan masalah unggahan ini akan diselesaikan melalui mekanisme tata kelola universitas. Leon meyakini ini sebagai sinyal sanksi terhadap dirinya dan kawan-kawan.
Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI, Amelita Lusia mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh BEM UI tersebut sudah melanggar aturan. Namun, ia tidak menjawab bagian mana yang sudah melanggar aturan, dan aturan apa yang dilanggar. Jika kita melihat lagi poster yang diunggah oleh BEM UI, tidak ada kata – kata yang melanggar aturan, itu adalah murni opini dan keresahan yang dirasakan oleh pihak BEM UI. Pernyataan humas UI tersebut dirasa hanya ingin membungkam pendapat dari BEM UI saja. Sikap Rektorat UI tersebut seperti ingin membungkam freedom of speech bagi masyarakat. Freedom of speech adalah sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya batasan atau sensor selama hal tersebut tidak menebar kebencian. Kampus seharusnya menjadi tempat untuk berdiskusi, dan tempat menyalurkan aspirasi, namun yang terjadi adalah dibungkamnya kebebasan berpendapat. Mengkritik baik-baik tidak digubris, membuat kampanye di media sosial berujung dipanggil rektorat. Ada baiknya jika pihak kampus lebih mengkaji dan lebih mendalami apa yang telah BEM UI sampaikan pada akun twitter dan akun instagram resmi BEM UI.
Rektorat UI yang terkesan tunduk terhadap rezim Jokowi
Pemilihan rektor suatu universitas mulai berubah semenjak dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2017 yang dikeluarkan pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, peraturan ini mengimplikasikan ekstensi pemerintah ke dalam ranah akademik. Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D. adalah Rektor Universitas Indonesia yang menjabat pada periode 2019-2024, beliau juga rangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. Hal ini jelas melanggar Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2013 Pasal 35 mengenai Statuta Universitas Indonesia yang menyebutkan diantaranya bahwa Rektor Universitas Indonesia dilarang merangkap sebagai pejabat BUMN. Akan tetapi pada pelaksanaannya tidak sesuai dengan peraturan yang tertulis seperti adanya bantahan dari pihak BUMN yang menyatakan bahwa tidak ada regulasi di BUMN yang melarang seorang rektor merangkap ke BUMN dan Statuta UI ini hanyalah bersifat internal untuk Universitas Indonesia saja. Jika dilihat dari sisi lain, Lana Soelistianingsih, istri dari Prof. Ari Kuncoro, juga dilantik menjadi Kepala Eksekutif Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) periode 2020-2025 menggantikan Fauzi Ichsan berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10/M Tahun 2020.
Intervensi langsung dari pemerintah, kecacatan dalam pelantikan, dan keputusan presiden yang terspesifikasi menyiratkan lebarnya kuasa rezim dan membuat rektor UI membatasi gerak anggota BEM UI dan melakukan pemanggilan kepada anggota BEM UI terkait artikel yang ditulis oleh BEM UI.
KESIMPULAN
Kami mahasiswa juga selaku rakyat Indonesia, memiliki hak untuk mengkritik dan berpendapat secara rasionalitas kepada pemerintah tanpa melanggar undang-undang yang ada. Di sistem negara ini yang bersifat demokrasi sudah seharusnya pemerintah di negara ini dapat mendengar kritikan-kritikan dari rakyatnya, karena hal tersebut merupakan suara rakyat dan juga hal tersebut adalah kebebasan berpendapat (freedom of speech). Jika di negara ini sudah tidak ada kritikan, bahkan kalau negara ini mempermasalahkan terhadap kritikan dari rakyatnya yang tidak melanggar landasan undang-undang, maka kata-kata demokrasi di negara ini sudah mati. Pada kritikan BEM UI terhadap Presiden Joko Widodo, hal tersebut merupakan suara dari rakyat yang dinyatakan oleh sekelompok mahasiswa. Pada kritikan tersebut BEM UI mengkritik Presiden Joko Widodo yang kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya kerap kali juga tidak selaras dengan janjinya. Mulai dari rindu demo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya semua mengindikasikan bahwa perkataan yang dilontarkan tidak lebih dari sekedar bentuk “The King of Lip Service” semata. Maka dari itu kami KOMAHI UAI, juga rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi turut mendukung kritikan BEM UI dan segenap kritikan-kritikan dari suara rakyat lainnya terhadap Presiden Joko Widodo
Rektorat UI memanggil BEM UI pasca BEM UI melakukan sebuah kritikan kepada Presiden Joko Widodo atas dasar bahwa rektorat UI berpendapat bahwasanya apa yang telah dilakukan oleh BEM UI ini merupakan penyampaian pendapat yang menyalahi aturan dan tidak tepat. Hal ini dikarenakan dengan memasang wajah Presiden Joko Widodo dan juga diedit memakai mahkota dan Jokowi: “The King of Lip Service”, bukan lah cara menyampaikan pendapat yang sesuai aturan yang tepat, karena melanggar beberapa peraturan yang ada,” yang disampaikan oleh Amelita Lusia selaku Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi (KIP) UI. Kami dari KOMAHI UAI tidak setuju dan juga mengkritik atas sikap dan juga Langkah yang dilakukan oleh rektorat UI ini. Hal ini dikarenakan, pemanggilan tersebut sebagai merupakan langkah yang kurang tepat yang dilakukan oleh rektorat UI. Rektorat sendiri pun berpendapat bahwa meme yang diterbitkan oleh BEM UI ini melanggar aturan, dikarenakan presiden merupakan simbol negara, namun sebenarnya sudah tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa presiden bukanlah simbol negara, yang termasuk ke dalam simbol negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, sehingga seharusnya rektor UI tidak seharusnya dan tidak perlu takut berlebihan terhadap poster gambar Presiden Joko Widodo dengan mahkota di kepalanya atas dasar menyinggung simbol negara. Langkah penertiban kebebasan kepemimpinan mahasiswa untuk berekspresi dan mengkritik penguasa jelas tidak pada tempatnya dan kontraproduktif bagi kehidupan hari ini dan masa depan Indonesia yang lebih baik. Poster BEM UI ini pun sama sekali tidak melanggar hukum, hal ini dikarenakan substansi dari poster tersebut bukanlah ajakan untuk melakukan kekerasan. Selain itu, poster tersebut juga melampirkan referensi pemberitaan dari sejumlah media massa sehingga BEM UI hanya menyajikan fakta-fakta yang ditulis oleh para jurnalis.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Negara yang demokratis tercermin dari adanya perlindungan terhadap kebebasan berkumpul, mengemukakan pendapat, dan diskusi terbuka. Sebagai negara dengan kedaulatan yang berada di tangan rakyat, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat mendukung pengawasan, kritik, dan saran terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Salah satu tujuan dari negara demokrasi adalah membentuk situasi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Hal ini tercermin dalam Deklarasi Universal HAM Pasal 21 ayat (3):
“Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.”
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, bertujuan untuk mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI 1945. UU No.9 Tahun 1998 Pasal 2 Ayat (1) menegaskan bahwa:
“Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Kemudian berdasarkan UU No. 9 Tahun 1998 Pasal 5 menjamin kebebasan dan perlindungan hukum terhadap seluruh warga negara dalam hal mengeluarkan pendapat secara bebas di muka umum.
Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Kebebasan atas hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang melekat secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak tersebut tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak ini berarti mengingkari martabat kemanusiaan, yang berarti harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Maka dari itu kita sebagai masyarakat Indonesia tak perlu sungkan atau takut untuk mengungkapkan pendapat kita dengan benar dan lantang. Terutama berpendapat di muka umum hingga mengkritik pemerintah, namun dengan garis bawah kita mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang. Kemerdekaan berpendapat atau bisa kita sebut dengan (Freedom of Speech) merupakan salah satu anugerah untuk kita meluruskan apa yang harus diluruskan, sama halnya seperti di saat kita mengkritik pemerintah dengan argumen yang kuat tanpa harus takut dan resah.
REFERENSI
https://www.merdeka.com/peristiwa/jokowi-pernah-bilang-kangen-didemo-dan-janji-sediakan-makanan.html
https://tirto.id/alasan-bem-ui-ogah-hapus-unggahan-jokowi-the-king-of-lip-service-ghhf
https://www.ui.ac.id/prof-ari-kuncoro-dilantik-sebagai-rektor-ui-periode-2019-2024/
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/140849/permen-ristekdikti-no-19-tahun-2017
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5403/pp-no-68-tahun-2013
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/05/170000569/simbol-negara-indonesia
https://www.bphn.go.id/data/documents/98uu009.pdf
https://www.komnasham.go.id/files/1604630519snp-kebebasan-berekspresi-dan–$SF7YZ0Z.pdf
https://nasional.tempo.co/read/1477517/pemanggilan-bem-ui-dosen-hukum-ugm-rektor-takut-berlebihan
(author: Kajian Departemen PHK)